NAMA: HUDA APRI ANDANU
NIM : 251910010
UNIV..: UNIVERSITAS BINADARMA PALEMBANG
Makalah
TEORI KOMUNIKASI
PARADIGMA INTERPRETIF
Oleh;
Huda Apri Andanu
151910010
Dosen: Desy
Misnawati
Universitas Bina Darma Palembang
2015-2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Manusia dalam kesehariannya selalu
bertindak, dan tindakannya memiliki arti, oleh karena itu interpretsi
diperlukan untuk memahami perilaku manusia. Berbeda dengan banyak teori
perilaku dan kognitif yang mengkaji kehidupan sosial manusia, teori disini
berhubungan dengan terjadinya atau berlangsungnya pengalaman manusia.
Meskipun teori interpretif dan
kritis terbagi dalam asumsi-asumsi mengenai tindakan manusia, keduanya berbeda
dalam beberapa aspek penting. Teori interpretif ditujukan untuk memahami
pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks.
Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia
mengalami kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki
kehidupan manusia.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang di atas kami,
rumusan masalah yang ingin kami paparkan di dalam makalah ini sebagai berikiu:
1.
Sejarah.
2.
Pengertian
Interpretif.
3.
Interpretif
Menurut Para Ahli
4.
Pandangan Dasar Perpektif Interpretif
5.
Metateori Interpretative
6. Teori Interpretif Dalam Komunikasi
7.
Kesimpulan
8.
Daftar
Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
Akar
sejarah dari perpektif interpretif diawali oleh filosofis Rene Descartes
(1596-1650). Pada bukunya The Principles of Philosophy, ia berpendapat
bahwa semua penjelasan dapat didasarkan pada observasi benda dan gerak.
Pendapatnya ini kemudian membangun sebuah landasan pendekatan terhadap
pengetahuan yang dijadikan sebagai dasar positivism dan post-positivisme dan
juga sebuah perbedaan yang jelas adanya dunia eksternal dan dunia internal
subjek yang dikenal dengan Dualisme Cartesian.
Mulai
pertengahan abad 18 timbul beberapa keberatan terhadap gagasan pencerahan
tentang objektivitas, rasionalitas dan pengetahuan yang mendasari observasi
eksternal. Yang paling berpengaruh yaitu Immanuel Kant, filsuf sentral dalam
aliran pemikiran Idealisme Jerman. Ia
berpendapat bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang apriori yang bersifat
independen dari dunia luar. Pada pertengahan abad ke 19, Idelisme Jerman
menemui jalan berat namun kembali bangkit awal abad 20 yang menimbulkan gerakan
Neo-Kantian.
Menurut
Max Weber, prosedur positivisme yang ada dalam ilmu alam tidak tepat dijadikan
metode pemahaman, dan ia menyokong gerakan interprestasi ilmu sosial yang dapat
mencatat makna subjektif individu yang tercakup dalam perilaku sosial.
B. PENGERTIAN INTERPRETIF
Teori interpretif muncul dalam
berbagai bentuk. Banyak teori interpretif yang memusatkan perhatiannya pada
pesan atau teks. Beberapa dinataranya berusaha untuk menentukan apa yang
dimaksudkan oleh orang-orang dalam percakapan yang mereka lakukan. Sejumlah
lainnya menaruh perhatian pada makna teks saja. Ada pula yang mengkaji makna
dari interpretasi itu sendiri dan bagaimana pengalaman manusia melibatkan
pemahaman. Disini kami akan mambahas dua aliran pemikiran tentang interpretasi
yang searah, yaitu hermeneutika dan fenomenologi. Hermeneutika sebenarnya
menunjuk pada interpretasi tekstual dan masih banyak yang menggunakannya untuk
kepentingan tersebut; namun, bagi banyak orang hermeneutika telah menjadi
hampir sama dengan interpretasi itu sendiri. Fenomenologi adalah studi mengenai
pengetahuan yang muncul dalam pengalaman yang diperoleh secara sadar.
a. Interpretif
dan kritis
Jenis teori ini berkembang dari tradisi sosiologi
interpretift, yang dikembangkan oleh Alfred Schulzt, Paul Ricour et al.
sementara teori kritis berkembang dari pemikiran Max Weber, Marxisme dan
Frankfurt School. Interpretif berarti pemahaman (verstechen) berusaha
menjelaskan makna dari suatu tindakan. Karena suatu tindakan dapat memiliki
banyak arti, maka makna idak dapat dengan mudah diungkap begitu saja.
Interpretasi secara harfiah merupakan proses aktif dan inventif. Teori
interpretif umumnya menyadari bahwa makna dapat berarti lebih dari apa yang
dijelaskan oleh pelaku. Jadi interpretasi adalah suatu tindakan kreatif dalam
mengungkap kemungkinan-kemungkinan makna. Implikasi social kritis pada dasarnya
memiliki implikasi ekonomi dan politik, tetapi banyak diantaranya yang
berkaitan dengan komunikasi dan tatanan komunikasi dalam masyarakat. Meskipun
demikian teoritisi kritis biasanya enggan memisahkan komunikasi dan elemen
lainnya dari keseluruhan system. Jadi, suatu teori kritis mengenai komunikasi
perlu melibatkan kritik mengenai masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan
kelompok ini terutama sekali popular di Negara-negara Eropa.Karakteristik umum
yang mencirikan teori ini adalah:
a. Penekanan terhadap peran subjektifitas yang
didasarkan pada pengalaman individual.
b. Makna merupakan konsep kunci dalam teori-teori ini.
Pengalaman dipandang sebagai meaning centered.
c. Bahasa dipandang sebagai kekuatan yang mengemudikan
pengalaman manusia.
Di samping karakteristik di atas yang menunjukan
kesamaan, terdapat juga perbedaan mendasar antara teori-teori interpretif dan
teori-teori kritis dalam pendekatannya.
Pendekatan teori interpretif cenderung menghindarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolute tentang fenomena yang diamati. Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks. Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia mengalami kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki kehidupan manusia.
Pendekatan teori interpretif cenderung menghindarkan sifat-sifat preskriptif dan keputusan-keputusan absolute tentang fenomena yang diamati. Pengamatan menurut teori interpretif, hanyalah sesuatu yang bersifat tentative dan relative. Sementara teori-teori kritis lazimnya cenderung menggunakan keputusan-keputusan absolut, preskriptif dan juga politis sifatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa teori interpretif ditujukan untuk memahami pengalaman hidup manusia, atau untuk menginterpretasikan makna-makna teks. Sedangkan teori kritis berkaitan dengan cara-cara di mana kondisi manusia mengalami kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki kehidupan manusia.
C.
INTERPRETIF
MENURUT PARA AHLI
Pada bagian ini akan dijelaskan
pengertian interpretive (Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya
(Kulturwissenschaften). Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994:
119) mencoba menggambarkan secara lebih luas dan lebih mendalam tentang faham
interpretive dan menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari
tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam
sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu
pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism) yang dipengaruhi
oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.
Hal tersebut dapat dilihat dari
pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Painted in broad strokes, the canvas of interpretivism is
layered with ideas stemming from the German intellectual tradition of
hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the phenomenology of
Alfred Schutz and critiques of scientism and positivism of ordinary language
philosophers critical of logical emperism (e.g Peter Winch, A. R. Lough Isaiah
Berlin).”
Selanjutnya Schwandt menjelaskan
bahwa secara historis argumentasi pengikut faham interpretive bahwa
interpretive digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat
bermacam sanggahan terhadap interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu
pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu
pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu
pengetahuan alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental
(Geisteswissenschaften) atau ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften)
berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu
pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan
ilmu pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen)
mengenai “makna” dari fenomena sosial.
Hal
tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln,
1994: 119) sebagai berikut:
“Historically, at least, interpretivists argued for the
uniqueness of human inquiry. They crafted various refutations of naturalistic
interpretation of the social sciences (roughly the view that the aims and
methods of the social sciences are identical to those of the natural sciences).
They held that the mental sciences (Geisteswissenschaften) or cultural sciences
(Kulturwissenschaften) were different in kind than the natural sciences
(Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific explanation
(Erklaren), where as the goal of the former is the grasping or understanding
(Verstehen) of the “meaning” of social phenomena.”
Sebelum menjelaskan interpretive
seperti tersebut di atas Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah
Konstruktivis, Konstruktivisme, Interpretivis dan Interpretivisme merupakan
istilah-istilah yang sehari-hari dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan
sosial dan oleh ahli-ahli filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk
oleh maksud para penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi
memberikan alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan
filosofi yang berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk disebut
konsep yang peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan arahan
terhadap apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan
penjelasan.
Hal tersebut dapat dilihat dalam
pandangan Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:
“Constructivist, constructivism, interpretivist and
interpretivism are terms that routenely appear in the lexicon of social science
methodologists and philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by
the intent of their user. As general descriptors for a loosely coupled family
of methodological and philosophical persuasions, these terms are best regarded
as sentizing concepts (Blumer, 1954). They steer the interest reader in the
general direction of where instances of particular kind of inquiry can be
found. However they “merely suggest directions along which to look” rather than
provide descriptions of what to see.”
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt
tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan
dua istilah yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu
fenomena sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan
oleh ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan
budaya (Kulturwissenschaften).
D.
PANDANGAN
DASAR PERPEKTIF INTERPRETIF
Terdapat 3 dasar pembentuk pandangan perpektif interpretif, yaitu
hermeneutika, fenomenologi, dan interaksionisme simbolik. Tiga pandangan ini
mendasari metode ilmu sosial yang khas, yaitu memperlakukan manusia tidak
sebagai benda-benda lebih dari apa yang telah dicapai oleh post-positivisme
awal.
1.
Fenomenologi
Fenomenologi
dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938).Fenomenologi melihat objek dari
ilmu-ilmu sosial meliputi segala sesuatu yang termasuk kedalam tindakan sosial
manusia: percakapan, ungkapan, pikiran, perasaan, keinginan, maupun
endapan-endapannya seperti teks, tradisi, karya seni, barang kebudayaan,dll.
Menurut Husserl, Dunia Kehidupan (lebenswelt) adalah unsur sehari-hari yang
membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan
hadapi sebelum kita meneorikan atau merefleksikannya secara filosofis. Dunia
kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui begitu saja tanpa lewat observasi
dan eksperimen sebagaimana dilakukan dalam ilmu alam, melainkan harus melalui
pemahaman. Namun sekarang kita memaknai kehidupan tidak secara apa adanya,
tetapi berdasarkan oleh penafsiran – penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan
– kepentingan, situasi kehidupan, dan kebiasaan – kebiasaan kita. Oleh karena
itu, fenomenologi menyerukan zuruck zu de sachen selbst ( kembali kepada
benda-benda itu sendiri ).
Dalam
fenomenologi terdapat 2 pemikiran, yaitu Fenomenologi Transendental oleh Edmund
Husserl dan Fenomenologi Sosial oleh Alfred Schutz. Antara 2 pemikiran ini
terdapat kesamaan dari sudut pandang fenomenologi yang telah digarisbawahi oleh
Deetz dalam hubungannya dengan studi komunikasi.
Pertama dan
prinsip paling dasar fenomenologi adalah bahwa pengetahuan tidak dapat
ditemukan dalam pengalaman eksternal tetapi dalam diri kesadaran individu.
Jadi, fenomenologi lebih mengitari penelitian untuk pemahaman subjektif
ketimbang mencari objektivitas sebab akibat dan penjelasan universal. Kedua,
makna adalah derivasi dari potensialitas sebuah objek atau pengalaman yang
khusus dalam kehidupan pribadi. Intinya, makna yang berasal dari suatu objek
atau pengalaman akan bergantung pada latar belakang individu dan kejadian
tertentu dalam hidup. Ketiga, kalangan fenomenologi percaya bahwa dunia
dialami dan makna dibangun melalui bahasa. Asumsi ini mengikuti pendapat
kalangan konstruksionisme sosial.
Fenomenologi
Transendental (fenomenologi klasik) dicetuskan oleh Edmund Husserl (1859-1938),
seorang fisikawan dan ahli matematika. Fokus perhatiannya adalah tesis bahwa
dalam keseharian hidup kita, esensi dari objek dan pengalaman menjadi kabur
dengan konsep yang diterima begitu saja yang kemudian menjadi sebuah kebenaran
umum. Contohnya, kita berinteraksi di meja makan pada saat makan malam
dikatakan sebuah kesepakatan mengenai siapa kita sebagai anggita keluarga,
namun kita biasa menerima interaksi ini begitu saja serta makna yang mereka
dapatkan. Karena adanya kekaburan ini, Husserl percaya bahwa “inti usaha
fenomenologi adalah untuk memurnikan sikap alamiah kehidupan sehari-hari dengan
tujuan menerjemahkannya sebagai sebuah objek untuk penelitian filsafat secara
cermat dan dalam rangka menggambarkan serta memperhitungkan struktur
esensialnya” (Natanson; 1996,hal 3)
Tujuan
pemurnian ini dicapai dengan metode Epoche yang meliputi pemberian tanda kurung
(bracketing) atau menunda sikap-sikap alamiah dari hal – hal kehidupan yang
diterima begitu saja dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih murni dari
fenomena yang diinvestigasi. Menurut fenomenologi transendental, pemahaman yang
benar atas sebuah fenomena dapat dinilai jika bias personal, sejarah, nilai dan
kertertarikan dapat dimurnikan berdasarkan waktu investigasi.
Jika
logika transendental yang menjadi landasan dari fenomenologi Husserl adalah
seperti yang dipaparkan oleh van Peursen (1988), maka menjadi agak jelas bahwa
fenomenologi transendental adalah fenomenologi yang berusaha meraih pemahaman
tentang obyek-obyek melalui pengenalan yang terus menerus dan semakin mendalam.
Sedangkan
dalam fenomenologi sosial, Alfred Schutz (1899-1959) menerima banyak prinsip
dari Husserl, kecuali ajaran tentang penundaan (pemberian tanda kurung) atas
kehidupan dunia agar kemurnian dapat diperoleh. Ia membahas cara –cara agar
intersubektivitas kehidupan dunia dapat didekati dan dipahami. Schutz lebih
menitikberatkan pada intensitas pembelajaran tentang lebenswelt, bukan pada
prinsip pemberian tanda kurung atasnya ( penundaan makna dan definisi kita atas
realitas ). Menurutnya, keseharian kehidupan dunia ini dapat dipahami dalam
term term yang kita sebut pelambangan/penipean (typications) yang digunakan
untuk mengorganisasikan dunia sosial. Penipean ini adalah konstruk interprtasi
yang berubah-ubah berdasarkan latar belakang kehidupan seseorang, budayanya,
dan konteks sosial tertentu.
Intinya,
Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala
sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang
bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada
dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi. Ketika anda bertanya “Apakah
yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan
kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni mencoba
memahami apa yang anda rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari
sudut pandang orang pertama.
2. Hermeneutika
Secara
Etimologis, Hermeneutika (dari bahasa Yunani hermēneuō, hermeneuein:
menafsirkan) adalah aliran filsafat yang bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan.
Biasa dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai Alkitab.
Intinya, Hermeneutika mencoba menginterpretasikan teks tertulis maupun “teks”
sosial yang ada pada suatu kelompok masyarakat.
Hermeneutika
dalam bahasan ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana pencarian metode ilmu
sosial (dalam hal ini komunikasi) yang berbeda dengan ilmu sosial. Karena dalam
ilmu sosial, cara bertindak dan dan berperilaku belum terstuktur, maka kita
tidak bisa menerima begitu saja sebagai benar apa yang diinginkan oleh
positivisme. Oleh karena itu, dunia kehidupan ini dapat kita ketahui dengan
Pengalaman yang diajukan oleh hermeneutika.
Hermeneutika
menegaskan bahwa fenomena khas manusia adalah bahasa, karena merupakan
objektiviasi dari kesadaran manusia akan kenyataan (lahir dan batin). Bahasa
mencerminkan realitas yang dialami sipenutur sekaligus apa yang dipikirkannya.
Hermeneutika
dikembangkan oleh Friederich Schleiermarcher (1768-1834), Wilhelm Dilthey
(1833-1911), dan Gadamer(1900-..). Ditangan mereka, pemikiran hermeneutika
awalnya adalah teori untuk memahami teks atas kitab suci kemudian mengalami
perluasan objek menjadi teks kehidupan sosial secara keseluruhan.
Wilhem
Dilthey berpendapat bahwa hermeutika mempunyai jalur metodologi untuk
mempelajari kreasi sosial atau “objektifikasi pikiran” (Burrel & Morgan,
1979, hal 236). Pemikiran selanjutnya oleh Karl Otto Apel dan Paul Ricouer,
namun hermeneutic sebagai pendekatan untuk memahami kehidupan sosial mungkin
sudah dibangin sejak dan diasosiasikan secara konsisten oleh Hans-Georg Gadamar
(e.g,Gadamar, 1975,1989).
Analisis
Hermeutika melibatkan sebuah pertimbangan tentang teks dalam terang pengetahuan
teoritis para peneliti dan informasi tentang gaya teks, sumber teks, dan
situasi dimana teks itu diproduksi. Analisis hermeneutik meliputi sebuah proses
mengambil, atau mengembalikan dan seterusnya di antara teori, pengetahuan tak
terucapkan yang dibawa para peneliti dalam penyelidikan, serta data-data
tekstual.
Dalam
hermeneutika dikenal Lingkaran Hermeneutika, yaitu pola pemahaman khas
hermeneutika, bahwa pengetahuan kita dibatasi sekaligus dimungkinkan oleh
konteks yang lebih luas yaitu cakrawala pemahaman kita. Untuk dapat memahami
kata, misalnya kita harus memahami kalimat, gaya bahasa, gaya sastra,
kebudayaan dan seterusnya. Tetapi, untuk memahami konteks yang lebih luas lagi,
kita juga harus memahami konteks yang lebih kecil yang menyusunnya. Lingkaran
hermeneutika ini akan sangat tampak jelas pada proses Tanya jawab. Kontribusi
pemikiran hermeutika untuk teori interpretif kontemporer dalam komunikasi dapat
diringkas dalam beberapa gagasan sentral.
Pertama,
hermeneutika menegaskan pentingnya sebuah pemahaman (verstehen ) sebagai sebuah
oposisi dari penjelasan, prediksi dan control (erklaren ) sebagai sebuah tujuan
dari analisis sosial dimana para peneliti sosial harus mempertimbangkan isu-isu
tentang makna dan signifikansi subjektivitas ketimbang ketertarikan pada riset
ilmiah tentang hukum-hukum universal dan hubungan kausalitas. Berikut perbedaan
dari metode ilmu sosial dan metode ilmu alam :
a. Yang
dicari ilmu alam adalah dalil – dalil umum yang memang dimungkinkan untuk
mengukur uniformitas gejala-gejala alam, yaitu anggapan bahwa dalam kondisi
yang sama, akan terjadi hal yang sama. Yang dicari ilmu alam yaitu keunikan dan
individualitas dari setiap kejadian/aktivitas manusia.
b. Dari
segi logika, keduanya punya perbedaan. Ilmu alam menggunakan logic of science
yang memandang gejala-gejala sebagai terpisah dari pengamat tanpa saling
pengaruh dengan pengamat dan karena itu gejala-gejala dapat diobjektifkan.
Sedangkan ilmu sosial menggunakan logic of hermeneutic.
c. Logic
of hermeneutic justru bertolak dari anggapan bahwa antara pengamat dan objek
yang diamatinya (yaitu manusia dan masyarakat) terdapat satu hubungan yang erat
dan saling pengaruh yang kuat, dan karena itupun tidak dapat diobjektifkan
lagi.
Kedua,
hermeneutika menekankan konsep sentral teks dan berusaha meyakinkan bahwa
pelbagai perilaku dan objek – objek yang terbentuk dalam kehidupan sosial dapat
dimaknai sebagai sebuah teks. Cheney dan Tompkins (1988) mengembangan pendapat
tentang konsep teks sebagai basis dari penyelidikan komunikasi manusia. Dalam
arti, teks teks yang dianalisis dalam studi komunikasi dapat berupa pidato,
acara televisi, pertemuan bisnis, percakapan, perilaku nonverbal atau
arsitektur dan dekorasi sebuah rumah.
Ketiga, melalui
hermeutika para sarjana hermeutik mengajukan argumen yang menentang pemilahan
antara “subjek yang mengetahui” dan “pengetahuan/yang diketahui” sebagai
prinsip dasar tradisi post-positivis. Gadamer berpendapat bahwa “pemahaman”
pada intinya merupakan “pertukaran kerangka rujukan antara pengamat dan objek
yang diamati” (Miller, 2002:49).
Singkatnya,
hermeneutika menunjukkan para ilmuwan pentingnya teks-teks dalam dunia sosial
dan pada metode analisis yang menekankan keterhubungan pengaruh antara teks,
pengarang, konteks dan kalangan teorisi.
3. Interaksionisme
Simbolik
Interaksionisme
simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap
realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah
fenomenologi. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula
lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah
berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Perspektif interaksi
simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam
komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya
sebuah komunitas.
Menurut
Blomer (Spradley,1997:7) ada beberapa premis interaksionisme simbolik yang
perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut:
Pertama, manusia
melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu
kepada mereka. Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang,
dan sebagainya dalam suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus.
Kedua, dasar
interaksionisme simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau
muncul dari interaksi sosial seorang dengan orang lain.
Ketiga, makna
tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.
Para
pemikir dalam tradisi teori interaksionisme simbolik dibagi menjadi dua yaitu
aliran Iowa dan aliran Chicago. Namun kali ini, akan dibahas mengenai aliran
Chicago yang banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan
pemikiran Mead terutama Herbert Blummer. Dalam karyanya Mind, Self and
Society, Mead menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam
menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik yang saling
mempengaruhi satu sama lain, dimana pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial
(self) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society).
Mead dan
pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk menyempurnakan cara lahirnya makna
melalui interaksi kelompok sosial. Contohnya, Mead berbicara tentang significant
symbol dengan makna yang sama dalam sebuah masyarakat, dimana tanpa symbol
yang sama maka aksi yang terkoordinasi tidak akan mungkin. Konsep lainnya
adalah Significant Other yaitu orang-orang yang berpengaruh dalam hidup
anda, Generalized Other yaitu konsep anda tentang bagaimana orang lain
merasakan anda, dan Role Taking (tata cara yang dipakai) yaitu
pembentukan perilaku setelah perilaku orang lain.
Ketika
kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk”
mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai
bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain.
Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi
antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang
orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Menurut KJ Veeger
yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki
beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri. Menurut
Rogers(dalam Lefton, 1985; Vogel,1986), bahwa konsep diri merupakan pandangan
seseorang tentang dirinya sendiri. Akan tetapi pandangan tersebut tumbuh dari
pengalaman bersama dengan orang lain dari hari ke hari. Jika seorang anak
diberitahu bahwa ia cantik, pintar, dan rajin, maka mereka akan mengembangkan
konsep diri yang positif. Kondisi yang berbeda akan dijumpai pada anak yang
diberitahu bahwa mereka jelek, bodoh, dan pemalas. Pada kondisi demikian,
perasaan negatif pada diri anak akan muncul, dan ke depan ia akan tumbuh dengan
konsep diri yang buruk.
E. METATEORI
INTERPRETATIVE
1. Ontologi
Realitas sosial hadir dalam beragam bentuk konstruksi
mental, berdasar pada situasi sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan
spesifik, kemudian bentuk dan formatnya bergantung pada orang yang menjalaninya
(Guba, 1990)
walhasil
ontologi ontologi yang dipegang adalah gagasan bahwa realitas tidak akan bisa
dimengerti tanpa mempertimbangkan proses sosial dan mental yang terus menerus
membangun realitas tersebut .
2. Epistemologi
Epistemologi intepretatif merupakan epistemologi subjektif.
Kaum interpretatif meyakini tidak adanya hukum universal atau hubungan kausal
yang bisa dijadikan kesimpulan mengenai dunia sosial. Kaum interpretatif
berupaya mengusahakan pemahaman lokal dari kelompok sosial yang khusus dan
kejadian yang khusus pula
3. Aksiologi
Kebanyakan teoretisi interpretatif mengikuti argumen
ketidakmungkinan pemisahan nilai dari pengetahuan. Nilai-nilai personal dan
profesional adalah sebuah lensa yang melauinya sebuah fenomena sosial diamati. Perspektif
interpretatif mendasari metode ilmu sosial dengan memberikan peran subjek dalam
menentukan fakta sosial sekaligus memperlakukan manusia tidak sebagai
benda-benda sebagaimana positivisme.
F.
TEORI INTERPRETIF DALAM KOMUNIKASI
Secara umum, teori merupakan
analisis hubungan antara fakta yangsatu dengan fakta yang lain pada sekumpulan
fakta-fakta. Interpretif
Teori Interpretif dipengaruhi oleh :
1)
Hermeuneutika; 2) Fenomenologi; 3) Interaksionisme
Perbedaan pengaruh-pengaruh tersebut
pada term-term asumsi, penekanan serta metode. Sedangkan persamaan pada prinsip mereka menjadi inti dari sudut pandang teori
interpretif. Prinsip tersebut adalah pentingnya:
1)
Pengalaman Subjektif;
2) Kreasi
Intersubjektif;
3) Pemahaman sebagai tujuan akhir dalam riset sosial;
4) Ketidakpastian antara “yang tahu” dan “yang diketahui”.
Kerangka teori dalam
pemikiran aliran interpretif adalah prinsip-prinsip metateori.Menurut
Bates(2005) dalam bukunya ”An introduction to metatheories, theories, and
models”, metateori merupakan landasan filsafat dari sebuah teori; sebagai
serangkaian ide mendasar tentang bagaimana seharusnya sebuah fenomena tertentu
dipikirkan dan dipelajari. Teori interpretif bukanlah suatu usaha monolitis
namun lebih merepresentasikan tren umum daripada mengemukakan kerangka dari
pemikiran teoritisi interpretif. Hubungan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
tidak bisa dihindari karena keyakinan mengenai realitas, pengetahuan dan
nilai-nilai.
1.
Ontologi Teori Interpretif
Pandangan ontologis dari kebanyakan teori interpretif dalam ilmu
komunikasi menganggap, “Realitas sosial hadir dalam beragam bentuk konstruksi
mental, berdasarkan pada situasi sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan
spesifik, kemudian bentuk dan formatnya bergantung pada orang yang
menjalaninya.”(Guba.1900a:27). Pandangan ontologis para nominalis dan
konstruksionis sosial ini memiliki berbagai implikasi penting, yaitu:
a. Pandangan kalangan nominalis menekankan gagasan tentang realitas yang
berlipat (multiple), tidak satu pun yang terlihat lebih benar atau
salah dari yang lain.
b. Aspek
konstruksionis sosial dalam hal ini memberi tekanan pada jalannya proses dimana
realitas sosial dimengerti dan dijadikan dasar tindakan oleh pelaku sosial
tersebut.
L.L.Putnam(1983) menjelaskan bahwa, “
Kolektivitas adalah proses simbolis yang berkembang lebih melalui aliran
perilaku yang terjadi terus menerus daripada melalui fakta sosial yang statis.
Berbagai konsep seperti peran, norma, dan nilai-nilai bersifat artifisial atau
buatan, cara untuk mengklasifikasikan dan membuat tindakan sosial bisa
dimengerti.”. Gagasan bahwa realitas tidak akan bisa dimengerti tanpa
mempertimbangkan proses sosial dan mental yang terus menerus membangun realitas
tersebut.
Interpretivisme menuntut pendekatan
holistic, menyeluruh : mengamati objek secara keseluruhan, tidak diparsialkan,
tidak dieliminasi dalam variable-variabel guna mendapat pemehaman lengkap apa
adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan humanistis.
2.
Epistemologi Teori Interpretif
Dasar Epistemologis berdasarkan
kepada keyakinan tentang realitas dan pada kekurangan yang dirasa pada metode
riset yang sudah mendominasi riset sosial pada abad ke-20. Epistemologi
Subjektif menyatakan bahwa tidak ada hukum universal atau hubungan kausal yang
bisa dijadikan kesimpulan mengenai dunia sosial. Realitas itu diciptakan secara
sosial maka para interpretivis ini percaya bahwa pemahaman hanya bisa dicapai
dari pandangan pelaku realitas tersebut. Dan para pakar interpretif mencoba
untuk mengurangi jarak antar subjek yang mengetahui (the knower) dan objek
pengetahuan (the known), dan temuan yang dihasilkan penelitian adalah sesuatu
yang timbul dari interaksi antara peneliti dan komunitas. Teori diciptakan secara
induktif, melalui interaksi antara peneliti dan kolektif (kelompok)
sosial.Interpretivisme menuntut menyatunya subjek dengan objek penilitiannya
serta subjek pendukungnya seperti observasi.
3.
Aksiologi Teori Interpretif
Dalam pembahasan tentang
fenomenologi, dengan memepetimbangkan konsep bracketing – suatu gagasan bahwa
seseorang peneliti sosial mesti mengesampingkan prasangka dari nilai-nilai
ketika meneliti sebuah kehidupan sosial (epoche). Konsep ini menyatakan bahwa para
pakar interpretif harus mempercoba memperkecil pengaruh nilai-nilai dalam
proses penelitian. Pendekatan
mengenai peran nilai dalam pengembangan teori ini tidak dipakai oleh kebanyakan
teoritisi interpretif kontemporer. Kebanyakan teoritisi interpretif dalam
komunikasi sekarang ini cenderung mengikuti pemikiran hermeuneutika dan
interaksionisme simbiolisnya Mahzab Chicago dalam beragumen mengenai
ketidakmungkinan pemisahan nilai dari pengetahuan. Penilaian seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor luar tetapi juga
oleh faktor dalam dirinya (seks/ jenis kelamin). Penelitiannya bebas nilai,
karena memang tidak ada aspek yang benar-benar bebas nilai.
4.
Struktur dan Fungsi Teori Interpretif
Dasar-dasar
epistemologi kalangan pemikir post-positivis mengkaji keutamaan dari
penjelasan-penjelasan kausalitas dan kemampuan untuk menggeneralisasi manusia
dan latar kehidupannya, maka kepercayaan akan teori formal dan mapan adalah hal
yang masuk akal. Teori post-positivisme berusaha untuk menjelaskan perilaku
komunikasi, khususnya melalui seperangkat pernyataan yang terorganisasi.
Teori interpretif, didasari
oleh keinginan ontologis dan epistemologis yang sangat berebda dengan para
teoritisi post-positivis. Para ahli ini lebih condong kepada pemahaman
khusus/lokal daripada penjelasan yang general. Teori interpretif mengarahkan
pemahaman kita kepada sebuah dunia yang dibangun secara sosial melalui
interaksi yang komunikatif dan bertujuan untuk merefleksikan kompleksitas dunia
sosial serta proses konstruksi sosial.
a. Teori Interpretif umum (General Interpretive
Theories)
Mencoba untuk menciptakan pemahaman mengenai proses dimana komunikasi
berfungsi dalam interaksi intersubjektif. Proses konstruksi sosial dan interaksi ini bisa dibicarakan melewati
batas-batas situasional. Inti : kepercayaan bahwa kita mengonstruksikan dunia
kita secara sosial lewat interaksi komunikatif (=tindalak untukmencapai
pemahaman timbal balik.)
Tujuan teoritis
berkenaan dengan pemahaman atas proses konstruksi sosial dan interaksi bersifat
isomorphic dengan tujuan yang merangsang para teoritisi. Contoh : Mead,
tokoh aliran interaksionisme simbolik, termotivasi oleh keinginan untuk
memahami cara produksi dan penafsiran makna lewat simbol dalam interaksi
sosial. Para perintis teori-teori yang meletakkan landasan kerja teoritis yang
berusaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan bagaimana tindakan
dituntun lewat interaksi simbolik intersubjektif.
Jadi, Pemahaman
Intersubjektif dibentuk dan membentuk oleh tindakan komunikatif.
Contoh : Teori konstruktivisme memandang bahwa ada keterhubungan antara
struktur kognitif individu dan penciptaan makna simbolik dalam interaksi.
Lebih lanjut, teori
ini berdasar pada ontologi kalangan konstruksionis sosial yang menginginkan
untuk menyediakan pemahaman kalangan konstruksionis sosial yang bersifat lintas
situasi.
Jadi, teori-teori
isyarat melihat pada bagaimana cara berbicara tertentu memberi karakteristik
terhadap budaya komunitas tertentu. Teori-teori ini menyediakan pemahaman
tentang proses umum bagaimana makna terus-menerus diciptakan lewat proses
interaksi.
Teori general
interpretif, didasari oleh tiga tujuan yang saling berhubungan, yaitu:
ü Memahami
(Understanding)
ü Teoritisi
interpretif lebih melihat proses interaksional dari sudut pandang pelaku tindakan
sosial tersebut daripada mencari pengaruh kausalitas dari luar.
Contoh :
seseorang yang menggunakan pesan-pesan ancaman untuk mendapat pemenuhan
kebutuhan dari temannya.
Sebuah penjelasan mungkin akan
memikirkan faktor-faktor kausalitas seperti kepribadian atau perkembangan
hubungan dalam memberi teori atas fenomena ini.
Namun sebuah pemahaman atas
perilaku, akan memikirkan kemungkinan situasi yang khusus, tujuan interaktif
pelaku dan aturan yang memengaruhi tipe interaksi seperti itu. Teori ini akan
berusaha untuk mengambarkan secara hati-hati, proses sosial dan interaksi
simbiolis.
Lebih jauh, karena teoritisi
interpretif dengan tipe seperti ini mengharapkan untuk menjelaskan proses umum
dari interaksi dan pemahaman sosial, teori interpretif umum sering berada pada
term yang relatif abstrak.
Artinya :
teori interpretif umum akan mencari elemen-elemen yang penting dalam interaksi
komunikatif dan perkembangan hubungan dan mengkaji elemen-elemen ini dengan
cara yang bisa diterapkan pada berbagai macam konteks komunikasi secara
spesifik.
Teori-teori interpretif umum, dalam
tingkatan yang luas, akan dinilai dari akurasinya, konsistensinya, ruang
lingkupnya, kesederhanaannya dan keberhasilannya (kemanfaatannya). Karena teori
interpretif umum secara spesifik bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang
kehidupan dunia sehari-hari, adalah penting kemudian untuk mengajukan satu
pertanyaan tambahan untuk mengevaluasi teori.
Collin (1985) telah meletakkan pertanyaan
ini untuk membandingkan antara pemahaman teoritis dan pemahaman umum. Artinya :
kebanyakan orang bisa menjelaskan dengan pemahamah umumnya “Mengapa anak-anak
mengacungkan tangan mereka untuk menarik perhatian mereka di dalam kelas, dan
kenapa orang yang berbeda menghibur temannya yang berduka dengan cara yang
berbeda pula atau bagaimana orang-orang yang berselisih ikut dalam pola pikir
secara umum dalam sebuah konflik.
Karena keberadaan teori ini untuk
memahami kehidupan sehari-hari, satu pertanyaan tambahan yang penting untuk
menguji sebuah teori interpretif umum adalah apakah teori ini dapat memberikan
pemahaman yang mendalam melebihi pemahaman umum.
Sebagaimana Colling tegaskan ,
kualitas dari teori interpretif general dapat dinilai dari “Apakah kita dapat
meraih pengetahuan yang sistematis dan intergratif mengenai perilaku manusia
dimana kita bisa mengambil catatan yang lebih akurat lagi tentang perilaku
manusia?”
b.
Grounded Theories
Interpretivisme
antara lain menurunkan metodologi penelitian yang dinamakan grounded theory
dengan menurunkan kriteria bahwa data harus dikumpulkan dan di analisis secara
kualitatif bukan kuantitatif sebagaimana dilakukan positivisme, teori yang
dikembangkan bersifat membumi (maka dinamakan grounded theory), dan kegiatan
ilmu harus bersifat natural apa adanya dan menghindarkan penelitian yang diatur
sebelumnya baik melalui desain penelitian yang kaku maupun situasi laboratoris
(penelitian bersifat partisipatif). Berkonsentrasi pada
fenomena komunikasi lokal dan spesifik. Membantu dalam memahami situasi dan
konteks khusus.
Dikembangkan oleh Barney
G.Glaser dan Ansclm L. Strauss dalam bukunya yang berjudul The discovery of
Grounded Theory (1967). Tujuan dari buku ini adalah:
1) Mengusahakan
pengembangan teori yang didasarkan pada data yang dikumpulkan selama penelitian
untuk membantah teori fungsionalis dan strukturalis yang dominan (yang
dihadirkan oleh Parson, Metton dan Blau).
2) Untuk
menyugestikan logika dan spesfikasi pada grounded theory.
3) 3)Untuk
secara hati-hati melegitimasikan penelitian kualitatif; dimana tahun 1960-an,
penelitian kualitatif mempunyai status yang semakin meningkat diantara para
ahli sosiologi, karena pada waktu yang lalu tidak dipercaya mampu dalam hal
verifikasi penelitian (Handoko, dalam Birowo.2004: 19).
Fokus penelitian dalam Grounded Theory
(ungkap Handoko), bersifat tentatif yang artinya bahwa penetapan fokus yang
sudah disusun dalam proposal penelitian peneliti terdahulu bisa mengalami
perubahan ketika peneliti masuk ke lapangan dan mendalami fenomena sosial yang
ditelitinya. Hal ini bisa terjadi karena masalah yang telah diformulasikan oleh
peneliti dalam desain risetnya tidak sesuai atau berbeda dengan masalah yang
dihadapi oleh subjek penelitiannya.
Glaser dan
Strauss mulai memperdebatkan hal yang paling sering diperdebatkan oleh para oleh para peneliti yang lebih tertarik
pada pembuktian daripada penurunan teori itu sendiri. Untuk memperbaiki keadaan
ini, mereka mengemukakan bahwa pendekatan terbaik untuk memperluas teori adalah
dengan menggunakan penemuan yang sistematik dari data penelitian sosial. Dari
pernyataan tersebut, dapat dilihat dua hal yang kritikal dari teori ini, yaitu
:
1) Teori ini digerakan oleh observasi empirik atau berdasarkan data-data.
2) Teori ini
dihasilkan dari proses yang sistematik
Pengembangan
data teori ini bergantung pada pertimbangan dari sumber-sumber data yang yang
banyak. Sumber-sumber data ini dapat berbentuk : wawancara, observasi,
pengarsipan data, rekaman data, survei, teori-teori dan penelitian-penelitian
terdahulu serta hipotesis dan evaluasi dari peneliti sendiri.
Sumber-sumber data tidak dianggap sama pada
penggenerasian teori. Kebalikannya semua sumber data harus dievaluasi kembali
dengan mempergunakan cara-cara yang sistematis dan berhati-hati. Namun, tidak
ada sumber-sumber data tertentu yang diberi keunggulan ataup[un disingkirkan di
dalam analisis.Para peneliti dalam hal penggenerasian memebrikan penegasa
khusus pada proses pembandingan (comparative process).
1) Teori ini
melibatkan beberapa hali perbandingan, bahkan dalam perkembanggannya, teori ini
sering dihubungkan dengan metode perbandingan yang konstan. Data tidak pernah
dianggap sebagai sesuatu yang terisolasi, akan tetapi sebagai perbandingan akan
data yang lainnya.
2) Penggenerasian
dari grounded theory ini sendiri merupakan suatu proses yang berjalan (ongoing
process) dimana terdapat proses penggadaan yang terus menerus.
Hasil yang
didapat dari proses ini bisa dalam berbagai bentuk yaitu data-data yang berkode
ataupun dalam bentuk naratif, serta pernyataan yang tidak formal dan berbentuk
naratif. Teori ini dapat dipergunakan untuk menanggapi berbagai hal, mulai dari
context theories seperti pengambilan keputusan kelompok, dan pornografi di
internet sampai process theories seperti conflict management dan identity
formation.
c. Kriteria
untuk evaluasi
Pendekatan teori ini sangat berkaitan dengan
cara-cara penelitian dan perkembangan. Mengevaluasi suatu grounded theory
melibatkan evaluasi dari proses darimana teori ini berkembang serta bentuk
dimana hal ini dipresentasikan di depan para ilmuwan.
5.
Komunikasi dalam
Perpektif Interpretif
1. Etnografi – Komunikasi
Merujuk pada Clifford
Geertz, kita akan mendapatkan gambaran bagaimana lingkaran hermeuneutika
digunakan dalam proses penelitian komunikasi etnografis. Geertz menegaskan
bahwa penelitian bergerak dari konsep pengalaman dekat menuju konsep pengalaman
jauh. Konsep pengalaman dekat adalah konsep yang memiliki pengertian dekat bagi
anggota masyarakat budaya. Sedangkan konsep pengalaman jauh adalah pengertian
untuk pihak luar. Peneliti menerjemahkan keduanya dengan gerakan masuk
lingkaran ia memahami apa yang sedang terjadi menuju lingkaran dalam mengenai
apa yang bagi pelaku sendiri sedang terjadi. Garry Philipsen mengemukakan 4
asumsi komunikasi etnografi, yaitu:
1) Peneliti
atau partisipan dalam sebuah komunikasi budaya lokal menciptakan pengertian
bersama dengan yang sedang dipahaminya.
2) Para
komunikatir dalam kelompok budaya harus berada dalam suatu sistem komunikasi.
3) Pengertian
dan tindakan sifatnya khusus bagi masing-masing kelompok budaya.
4) Setiap
kelompok dianggap memiliki cara-cara tersendiri untuk memahami kode dan
tindakan tertentu.
Metode pemahaman hermeneutika mengarahkan peneliti untuk menghargai
keberbedaan cara komunikasi antarbudaya. Walaupun demikian tidak berarti
seorang peneliti membiarkan proses penelitiannya tanpa sedikitpun rujukan.
Rujukan adalah prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Philipsen, yaitu bahwa
semua bentuk pesan menuntut adanya kode bersama, komunikatornya mengetahui dan
menggunakan kode saluran dan memiliki saluran, memiliki setting tertentu, ada
bentuk pesannya, jelas topiknya dan berada dalam atau membentuk suatu peristiwa
tertentu. Melalui prinsip ini lingkaran hermeuneutika diberlakukan.
2.
Dramatisme dan Narasi
Teori
Dramatisme dan narasi merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh
interaksionisme simbolik. Teori dramatisme dan narasi memusatkan diri pada
peristiwa penggunaan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai
aktor diatas panggung metaforis yang sedang memainkan peran mereka, dan
komunikasi atau penggunaan pesan dianggap sebagai perilaku untuk menghadirkan
cerita tertentu.
Teori
narasi memaknai pesan atau proses komunikasi sebagai sebuah proses penceritaan
dengan struktur tertentu. Kedua teori ini tidak bisa dipisahkan, karena
memainkan adegan berarti menceritakan kisah secara berturut-turut, sebalikanya
menceritakan kisah secara berturut-turut berarti sedang menampilkan adegan dari
aktor tertentu.
“Komunikasi
dalam bentuk apapun merupakan suatu cara untuk berbagi cerita. Kebanyakan
cerita kelihatannya susah sangat pentingg untuk dibagikan. Pembagian cerita ini
mungkin merupakan fungsi utama dari cerita. Cerita dengan demikian merupakan
alat komunikasi. Pembagian cerita merupakan hal yang mengubah manusia menjadi
mahluk komunikatif. Dalam kegiatan pertukaran cerita kesana kemari, demi
kepentingan inspeksi, kesepakatan atau ketidaksepakatan, kita terlibat dalam
sebuah aktifitas yang menjadi diri kita anggota suatu masyarakat.Pertukaran
cerita dalam skala masyarakat merupakan inti dari keajaiban sosial masyarakat.”
(Howard Kamler dalam Littlejohn,0000:00)
Teori Burke mengenai Dramatisme Pentad. Teori ini
digunakan untuk menganalisis suatu peristiwa sebagai sebuah peristiwa
komunikasi. Bagi Burke ada 5 unsur yang saling terkait yang dapat ditenggarai
dalam suatu peristiwa komunikasi. Kelima unsur tersebut adalah:
a)
Tindakan
b)
Tempat kejadian
c)
Agen
d)
Agensi
e)
Maksud
Contoh
pertanyaan menggunakan Dramatistic pentad, yaitu:
a.
Apa yang telah diperbuat pelakunya? Untuk apa yang melakukan tindakan itu?
b.
Dimana tindakan itu dilakukan?
c.
Siapa yang melakukannya? Bagaimana latar belakang si
pelaku ini?
d.
Apa yang digunakan si pelaku?
e.
Apa maksud
dari tindakan itu?
Penelitian David Ling,mengenai
peristiwa kecelakaan yang terjadi pada tahun 1969 di Massachusetts. “Edward
Kennedy mengalami kecelakaan, dan seminggu setelah itu menceritakan kisah
kecelakaannya yang telah berlalu serta mengkomunikasikan nasib diri dan
jabatannya.”
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Perspektif Interpretif
Tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori Post
Positivis, karena dianggap terlalu umum, terlalu mekanis dan tidak mampu
menangkap keruwetan, nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia.
Perspektif interpretif mencari sebuah pemahaman bagaimana
kita membentuk dunia pemaknaan melaui interaksi dan bagaimana kita berprilaku
terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam pencarian jenis pemahaman ini, teori
interpretif mendekati dunia dan pengetahuan yang sangat berbeda dengan cara teori post
positivis.
Paradigma interppretif dapat
diaartikan apat diartikan ccarap pandang yang bertumpu pada tumpuan untuk
memahami dan melaksanakan dunia dari kacamata actor yang terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu keilmiahannya, terletak pada ontology sifat manusia yang
viluntaristik. Subyektivitas justru memainkan peran penting dibandingkan
obyektivitas sebagaimana yang ditemukan pada paradigma fungsional.
-
Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik
dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensidalam memahami makna
social.
-
Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair yang
melekat pada system makna dalam system pendekatan interpretif.
-
Fakta-fakta tidaklah inpresial, objektif dan netral
-
Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan
kontekstual yang bergantung pada pemaknaan sebagai orang dalam situasi social.
-
Interpretif menyatakan situasi social mengandung ambiguitas
yang besar.
-
Prilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang
banyak dan dapat diinterpretasikan denngan berbagai maca cara.
Tujuan
paradigm interpretif adalah untuk menganalisis realitas social dan bagaimana
realitas social itu dibentuk. Penelitian interpretif tidak menempatkan
objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa untuk memperoleh
pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam
mungkin. Misalnya dalam kasus pelaksanaan pembelajaran, peneliti menggali
tentang bagaimana pelaksana pembelajaran dan bagaimana memandang pembelajaran
tersebut.
Paradigm
interpretif ini menitikberatkan pada penafsiran dan pemahaman ilmu social.
Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subyektif dari terhadap kejadian social dan
berusaha memahaminya dari kerangka berfikir objektif yang sedang dipelajarinya.
Setiap gejala interpretif yang diteliti bisa jadi memiliki makna yang berbeda.
Intinya setiap sumber yang diteliti tidak monoton, dalam arti berbeda-beda
subjektifnya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar